Penyesalan Saat Usia 40 Tahun

 

Coba bayangkan pada saat ini usiamu sudah 40 tahun. Bayangkanlah hal-hal apa saja yang akan kamu sesali saat masih usia 20-an tahun dulu yang berdampak pada hidup, karier, dan kesehatanmu.

1.     Sering bermalas-malasan? 2.     Takut untuk membuat keputusan? 3.     Tidak membiasakan ibadah wajib? 4.     Takut keluar dari zona nyamanmu? 5.     Tidak membiasakan olahraga? 6.     Berlebihan mengonsumsi gula dan makanan berminyak? 7.     Hidup boros dan tidak punya tabungan? 8.     Tidak memiliki sumber penghasilan tambahan? 9.     Bergaul dengan orang-orang yang salah? 10.  Terlalu mengikuti gaya hidup dan konsumtif? 11.  Atau apa?

Bayangkanlah hal-hal tersebut dan kamu menyesalinya saat berusia 40 tahun nanti.

Kawan, mumpung saat ini usia kita masih 20-an tahun. Penyesalan masa tua itu bisa diantisipasi dari sekarang.

Gimana caranya?

Kalau menyesal bermalas-malasan, ubahlah hal itu. Lawan kemalasanmu sekuat tenaga dengan memiliki tujuan hidup yang jelas dan terarah.

Kalau menyesal karena hidup boros. Mulai belajar mengatur keuangan dan mengendalikannya.

Kalau menyesal tidak membiasakan ibadah wajib. Mulailah melaksanakannya dari sekarang.

Semua itu bukan untuk orang lain, tapi untuk dirimu sendiri.

Gimana hidupmu, bergantung bagaimana kamu. Kamu yang mengubahnya, kamu yang memperjuangkannya, kamu yang menikmatinya, dan kamu juga yang akan menyesalinya nanti.

Setiap orang akan bertanggung jawab dengan hidupnya masing-masing.

IG: @robiafrizan1

Penyesalan Suatu Hari Nanti

Kalau saja saat usia muda dulu, aku serius memperjuangkan impianku. Aku berani mencobanya. Aku tidak peduli dengan omongan negatif orang lain. Aku tidak terlalu banyak bermain-main. Aku tidak membuat-buat alasan yang menghambat perkembangan diriku. Aku serius untuk belajar. Aku tidak takut kalau gagal. Aku bersungguh-sungguh untuk berjuang. Mungkin saja, ada jalan hidup yang lebih baik untukku saat ini.

Kalau saja saat usia muda dulu. Aku menjaga pola makanku. Aku tidak berlebihan dalam mengonsumsi gula, minyak, dan segala hal yang memang tidak boleh berlebihan. Aku rutinkan olahraga tiap hari walau tidak lama. Mungkin saja, tubuhku saat ini lebih sehat dan tidak sakit-sakitan seperti saat ini.

Kalau saja saat usia muda dulu, Aku menjaga pola tidurku. Aku tidak sering begadang. Kalau capek, aku sempatkan istirahat. Bukan terus-terusan memaksa tubuhku ini. Mungkin saja, keadaanku saat ini lebih baik.

Kalau saja saat usia muda dulu, Aku sudah mulai memperbaiki diriku dan memperbaiki hubunganku dengan Tuhan. Tidak meninggalkan kewajiban dari-Nya. Aku yakin, aku akan lebih tenang dalam menjalani hidup ini. Sebab, aku punya Tuhan. Aku punya tujuan sejati yang bukan sekadar mengejar duniawi. Namun, saat tubuh ini mulai ringkih dan sakit-sakitan. Barulah aku mengingat-Nya. Itu pun aku masih salat dengan terburu-buru di sisa-sisa waktuku.

Kalau saja saat usia muda dulu. Aku tidak foya-foya. Aku tidak membeli sesuatu yang sebenarnya aku tidak benar-benar butuh. Terkadang yang kubeli itu hanya sekadar ingin menunjukkan bahwa “inilah aku”. Aku ingin diakui karena punya barang ini dan itu. Aku tidak belajar bagaimana memanajemen keuangan. Mungkin saja, aku punya tabungan yang cukup untuk keluarga dan menyekolahkan anak-anakku saat ini yang biayanya semakin hari semakin mahal. 

Namun, aku yakin. Aku masih punya waktu untuk memperbaiki itu semua. Mulai dari sekarang ini ....


IG: @robiafrizan1

Mahasiswa dan Kebingungan Pascakampus


Anak-anak kuliah yang baru lulus, freshgraduate, tampaknya saat lulus enggak bakalan fresh. Paling euforia bahagianya itu hanya dirasakan saat hari wisudanya saja. Setelah itu? Semacam ada pikiran berat di kepalanya dan sebuah pertanyaan yang segera membutuhkan jawaban, "Saya mau jadi apa?". 

Enggak sedikit lulusan sarjana yang kebingungan setelah wisuda. Entah itu lulus dari perguruan tinggi di daerah atau di kota-kota besar nan favorit. Kebanyakan dari mereka, ya mayoritas akan kebingungan pascakampus itu. Baik itu mahasiswa yang di kampus biasa-biasa saja bahkan mahasiswa yang lulus dengan predikat cumlaude. Banyak di antara mereka yang bingung dan enggak tahu mau melangkah ke mana. Apakah Anda salah satunya?

Belum lagi, dihantui dengan bisikan-bisikan Quarter Life Crisis. Krisis seperempat abad. Pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam pikirannya, mungkin tak jauh-jauh dari pertanyaan ini. Saya mau jadi apa? Di mana saya akan bekerja? Berapa gaji nantinya? Apakah mencukupi untuk biaya hidup, membeli rumah, biaya menikah, dll? Kapan saya bisa menikah sedangkan satu per satu teman sudah menemukan teman hidupnya dan pertanyaan lainnya yang kebanyakan untuk dibandingkan dengan kondisinya pada saat itu juga.

Pertama, berhentilah membanding-bandingkan dirimu dengan orang lain. Berhenti membanding-bandingkan pencapaianmu dengan pencapaian orang lain. Kondisi setiap orang itu berbeda. Namun, semua pasti punya waktu untuk sampai di puncak. Tinggal kamu mau memilih jalan menjadi apa dan bersabar melewati proses panjangnya.

Kedua, jangan merasa minder dengan diri sendiri. Setiap manusia pasti punya, setidaknya satu hal yang menjadi kelebihannya. Asah dan fokuslah dengan itu. Walaupun kamu merasa hal itu hanyalah hal kecil misalnya, enggak masalah, kalau terus diasah, lama-kelamaan semakin tajam dan kamu akan expert di bidang itu. 

Ketiga, berhenti untuk malas-malasan. Kalau kamu cuma malas-malasan terus, gimana caranya bisa berkembang? Lakukan apa yang bisa kamu lakukan dan mulai dengan segera. Jangan ditunda-tunda. Misalkan, kamu suka menulis, ya menulis aja terus. Asah kemampuan itu. Mulai kirimkan ke media. Kalau diterima kamu akan mendapatkan honor dari tulisanmu itu. Kalau mau, mulai susun juga sebuah buku atau buat sebuah novel. Terbitkan. Konsisten dengan itu. Pelan-pelan orang bakalan tahu kalau kamu punya karya. Atau bidang apa pun yang kamu sukai. Mulai saja. Asah dan terus berlatih. Hindari bermalas-malasan. Lawan kemalasan itu.

Satu hal yang harus benar-benar kamu pahami, untuk sampai di puncak (karier) itu butuh waktu bertahun-tahun. Enggak ada proses yang instan. Agar kamu bisa sampai, maka kamu harus memulai. Bukan dengan terus menunda-nundanya. Bidang apa pun yang kamu pilih, semua berpotensi. Tinggal kamu mau serius menekuninya atau tidak saja.

Tuban, 7 Juli 2020
12.59 WIB

Setahun Pernikahan


Tepat 23 Juni 2020 yang lalu adalah setahun pernikahan saya dengan Diska Anjelina Sudarta. Seorang perempuan Jawa yang akhirnya saya pilih sebagai teman hidup selamanya. Diska dulu kuliah di IPB sedangkan saya di Unpad.

Ya, namanya jodoh. Ada-ada saja cara Allah mempertemukan dan memberikan kemudahan saat kami taaruf dulu. Mulai dari saya yang datang sendirian mengkhitbah (melamarnya), mahar yang sangat dimudahkan, izin dari keluarga masing-masing juga mudah. Pokoknya banyak kemudahan. Kami yakin ini adalah bagian dari peran Allah yang mempermudah setiap proses pernikahan kami dulu.

Setahun pernikahan ini saya banyak belajar. Belajar banyak hal pokoknya. Mulai dari bagaimana membangun fondasi rumah tangga itu sendiri. Maklum, kami menikah terbilang usia muda. Usia 23 tahun. Enggak lama setelah kami masing-masing wisuda sarjana. Mungkin, seusia itu teman-teman yang lain masih mencari kerja atau sedang lanjut S-2. Sedangkan kami malah memutuskan menikah. Namun, keputusan yang dibuat ini tentulah keputusan penuh tanggung jawab dan dibuat secara sadar dan yakin.

Waktu sebelum menikah dulu, saya mencoba mencari alasan agar saya menunda menikah, tapi enggak ketemu lagi alasannya. Masalah restu/izin? Orang tua saya sudah ngasih lampu hijau. Masalah persiapan ilmu? Saya sudah banyak membaca buku pranikah ini sejak semester pertama kuliah, mendengar kajian-kajian tentang rumah tangga, dan juga sering cerita sama senior yang udah menikah duluan. Masalah ruhiyah dan mental? Mau enggak mau harus terus disiapkan dan ditingkatkan. Masalah finansial? Saya sudah punya bisnis dan tabungan sejak SMA dulu. Kalau dicari-cari alasan agar saya menunda nikah, enggak ketemu lagi waktu itu. Ya, dengan keyakinan dan kemantapan hati, saya pun memberanikan diri memulai proses taaruf dan kemudian menikahinya.

Setahun pernikahan yang lalu, hal yang paling kami kuatkan adalah fondasi dan tujuan keluarga.

Kami cukup banyak membuat kesepakatan apa yang menjadi tujuan kami menikah. Dengan sadar dan tahu tujuan ini, kami jadi paham apa yang harus kami perjuangkan dalam rumah tangga muda ini. Mulai dari menyepakati ibadah unggulan apa yang harus dikonsistenkan, menyepakati kalau keluar pintu rumah enggak boleh aurat terlihat, menyepakati program-program rumah tangga, ngobrolin pendidikan anak, hingga menyusun strategi gimana caranya agar bisa beli rumah dengan cara cash. Pokoknya, banyak hal yang kami obrolkan.

Oh ya, salah satu prinsip keluarga yang kami sepakati adalah tidak akan berhutang dan menjauhi riba. Mau enggak mau kalau membeli rumah harus cash. Kalau KPR/kredit ya jelas-jelas ada bau-bau ribanya. Kami tidak mau. Makanya kami juga ngobrolin strategi gimana caranya bisa beli rumah secara cash. Doain ya agar bisa terwujud. Manusia berikhtiar, Allah yang memberi jalan. Amin.

Setahun pernikahan kami, kami sama-sama banyak belajar mengelola emosi. Namanya juga dua manusia yang enggak kenal sebelumnya, tiba-tiba tinggal seatap serumah. Satu per satu hal yang enggak tahu sebelumnya, perlahan mulai tahu. Butuh waktu memang untuk belajar memahami pasangan. Kami pun juga masih belajar. Hingga kami sampai pada sebuah simpulan. Kalau menikah itu artinya sepaket juga menikahi kekurangan-kekurangan pasangan. Mau enggak mau harus diterima dan diperbaiki bersama.

Setahun pernikahan kami, alhamdulillah kami diamanahi Allah dengan seorang anak laki-laki. Kami beri nama Rayyan Khair Rabbani.

Mohon doanya agar setiap keluarga semakin sakinah, mawaddah, dan penuh rahmah. Amin.

Tuban, 6 Juli 2020
Pukul 00.32 WIB

Karya Robi Afrizan Saputra


Satu Januari


Ketidakterasaan waktu yang berlalu semakin cepat, semoga membuat kita semakin bergegas mengumpulkan bekal, semakin mengakselerasi diri dengan kebaikan dan terus meluaskan sayap-sayap kebermanfaatan.

Dan, inilah satu Januari yang menjadi awal di tahun 2019 ini. Semoga siapa saja yang punya niat baik di tahun ini, Allah berikan jalan demi jalan kemudahan. Semoga siapa saja yang punya banyak resolusi di tahun ini, semoga bukan hanya target-target yang tertulis di atas kertas. Semoga ada semangat lebih untuk memperjuangkannya agar di akhir tahun nanti resolusi yang tertulis bisa tercapai. 

Dan, yang lebih penting lagi, semoga resolusi yang dibuat bukan sekadar dan bukan hanya resolusi dunia saja. Namun, ikhtiarkanlah untuk melampauinya. Resolusi yang melebihi resolusi dunia. Resolusi untuk salat tepat waktu, berjamaah bagi laki-laki tentunya; resolusi untuk mulai merutinkan Dhuha dan Tahajud; resolusi untuk lebih memaksimalkan birrul walidayn; resolusi untuk tidak pikir panjang saat berbagi; resolusi untuk sedekah gila-gilaan; resolusi untuk lebih banyak mengaji dan mengkaji ilmu-ilmu agama; resolusi untuk lebih banyak membaca dan menulis; resolusi untuk lebih dekat dengan Al-Quran; resolusi untuk lebih banyak mendengarkan daripada berbicara, lebih menghargai pendapat orang lain, dan tidak merasa bahwa dirilah yang paling benar; dan resolusi-resolusi kebaikan lainnya.

Ingatlah satu hal bahwa resolusi hanya akan sekadar menjadi target di atas kertas jika tidak dimulai untuk mengikhtiarkannya

Hilangkanlah kebiasaan untuk mengatakan, "Ah, mulai besok saja; dua hari lagi deh dimulai; seminggu lagi." Tahu-tahu sudah masuk pertengahan tahun saja. Hati-hatilah. Sebab, semakin menunda maka akan semakin malas. Semakin menunda, waktu semakin bergerak cepat. 

Resolusikan juga untuk memulai apa saja yang bisa dilakukan sekarang, tanpa menunda-nundanya besok. Ini penting! Sebab kita sering terlalai karena kebiasaan menunda-nunda ini. 

Satu Januari ini, mulailah dengan bismillahirrahmanirrahim. Karena kita tidak pernah tahu apakah masih akan ada di dunia pada satu Januari tahun depan. Jika tidak ada yang bisa menjaminnya, lalu kenapa kita masih saja menunda-nunda dan tidak berikhtiar memperjuangkan resolusi kebaikan-kebaikan itu? Mulailah...


Subuh hari di Jatinangor, 1 Januari 2019


Kekhawatiran Pada Masa Depan


Anak muda yang baru lulus kuliah, ia ibarat masuk ke dalam sebuah pintu kehidupan yang sebenarnya. Kalau dulu semasa kuliah, gampang banget bilang ke orangtua, "Mah, duit udah habis. Kabarin aja ya, kalo udah ditransfer." Maka saat resmi menyandang status sebagai sarjana, saya yakin, ada beban tersendiri untuk mengucapkan itu lagi.

Tiba-tiba datang semacam teguran dan dengan tegas diri sendiri berbicara, "Aku harus segera mandiri." Tiba-tiba merasa malu saat masih saja meminta uang kepada orangtua saat sudah ditetapkan menjadi sarjana. Tiba-tiba merasa (sering) gelisah saat tidak tahu akan melangkah ke mana. Betul?

Ada satu hal lagi, yang barangkali ini tidak akan pernah dirasakan oleh mereka yang masih berstatus sebagai mahasiswa. Satu hal ini, saya yakin, hanya dirasakan oleh mereka yang sudah pascakampus, mereka sudah resmi dinyatakan lulus.

Adalah perbedaan realitas antara di kampus dan di pascakampus. Kalau dulu semasa di kampus dengan mudah, idealis dan berapi-apinya mengatakan bahwa "saya nanti setelah lulus sarjana akan S2 di universitas ini, universitas itu, universitas dalam negeri atau luar negeri; saya setelah lulus akan bekerja di perusahaan ini atau perusahaan itu; dan segala kalimat-kalimat lainnya yang seolah mudah untuk digapai, ketika itu."

Namun, saat dinyatakan lulus sarjana dan masuk ke dalam kehidupan yang sebenarnya, ternyata tidak segampang yang dulu pernah dibayangkan.

Ada banyak konflik, kegelisahan, dan kekhawatiran akan  masa depan. Terlebih di saat melihat teman-teman lain yang satu per satu sudah menemukan jalan hidupnya. Sedangkan kita, masih saja belum tahu akan menuju ke arah yang mana.

Kegelisahan ini, kalau terus diikuti, maka akan menyebabkan kita merasakan kegelisahan yang berkepanjangan. Sebangun tidur di pagi hari, merasa gelisah saya belum mendapatkan pekerjaan juga hingga saat ini. Sebelum tidur di malam hari, merasa gelisah besok saya akan ngapain ya? Dan, kegelisahan itu pun menjadi rutinitas yang kita rasakan dari hari ke hari.

Maka dari itu, tugasmu ketika merasakan kegelisahan saat sudah dinyatakan lulus namun belum juga menemukan jalan yang harus dituju, teruslah berikhtiar; sembari terus berjuang menemukan passion di dalam dirimu. Kamu tidak boleh terlalu mengkhawatirkan masa depan. Tenanglah. Karena perihal masa depan (rezeki) Allah sudah benar-benar menjaminnya. Asalkan kamu setelah lulus tidak malas-malasan, tidak mager-mageran, dan terus berjuang mencari perluang. Maka, perlahan kamu pasti sedang melangkah menuju kesuksesan. Cepat atau lambatnya. Namun, teruslah untuk melangkah.

Ibarat sebuah kereta api, awal berjalan begitu lambat pelan-pelan, namun ia terus bergerak. Semakin cepat dan semakin cepat. Kemudian sampailah ia di tujuannya. Begitu pun kamu, walau langkahmu setelah lulus belum tahu akan ke mana dan terasa begitu berat, teruslah untuk berjalan dan bergerak. Jangan malas-malasan. Allah sudah menjamin masa depanmu, dengan syarat kamu terus berikhtiar!

Untukmu yang saat ini masih berstatus sebagai mahasiswa, maka mulailah untuk mempersiapkan masa depanmu sekarang juga. Tentukan arah hidupmu dan mulailah memperjuangkannya sesegera mungkin. Semakin cepat kamu memulai, maka akan semakin cepat kamu sampai di tujuan. Kalau masih menunda-nunda, maka sadar atau tidak kamu telah ditinggalkan oleh teman sebayamu yang berani memulai dengan segera. Mereka sudah sampai di titik yang jauh, kamu masih saja belum bergerak.

Di kampus, jangan lagi banyak nongkrongnya, namun yang ditongkrongin ga tahu ngomongin apa. Cuma ketawa-ketawa doang. Di kampus, jangan banyak malasnya. Keluarlah dan carilah relasi seluas-luasnya. Beranilah untuk mencoba banyak hal yang baru. Jangan takut untuk gagal. Karena dengan kegagalan itu kamu akan paham hal mana yang harus dievaluasi dan hal mana yang harus terus dilalui. Selamat berjuang anak muda!

IG: robiafrizan1
19 November 2018, di Kereta Api Argo Parahyangan dari Bandung menuju Gambir Jakarta.

Sebuah Rantai atau Tali dari Gulungan Tisu


Saya menyebutnya sebagai rantai masa depan. Segala sesuatu yang saling terkait dari awal hingga akhir. Seperti akar yang menghujam dalam di tanah hingga pucuk daun yang menjulang tinggi ke angkasa. Saling berkaitan dan saling sambung-menyambung dalam prosesnya. Begitu pun fase dalam kehidupan. Dunia sekolah, kuliah, lulus, bekerja, menikah, memiliki anak, tua, dan meninggal dunia. Walau bisa saja "meninggal dunia" ada pada urutan setelah kuliah atau bahkan ketika kuliah, atau lebih cepat dari itu ketika "masa sekolah SMA" atau bisa juga setelah fase "menikah". Poin "meninggal dunia" adalah poin yang tidak bisa dipastikan akan diletakkan pada posisi nomor berapa. Karena yang berhak dan yang tahu kapan seseorang akan meninggal dunia hanya Allah. Kita semua sepakat.

Bukan itu yang sebenarnya saya sampaikan. Begini, izinkanlah saya menyampaikannya dengan sebuah analogi. Ibarat sebuah rantai yang saling bersambung dari roller pertama hingga rollernya yang paling akhir. Atau agar lebih sederhana, saya ibaratkan seperti sebuah tali yang terbuat dari gulungan tisu. Ketika basah ujung tali itu, maka basahnya merembes hingga ujung tali yang paling ujung.

Dunia kampus yang sedang Anda jalani, sama halnya seperti tali yang terbuat dari gulungan tisu ini. Juga seperti sebuah rantai yang panjang. Anda kuliah di kampus, kemudian Anda lulus, Anda bekerja, Anda menikah, Anda memiliki anak, Anda tua, dan Anda meninggal dunia. Semuanya saling berkaitan. 

Coba bayangkan, jika pada saat kuliah Anda menjalaninya dengan cara-cara yang tidak pantas; menitipkan presensi (atau lebih dikenal dengan titip absen), melihat catatan atau searching jawaban ujian di google, copy paste tugas yang sangat tidak dianjurkan, menyontek dan cara-cara yang sebenarnya tidak boleh dilakukan tapi Anda tetap melakukannya. 

Kemudian pada masanya, Anda pun dinyatakan lulus dari kampus. Wisuda dan nama Anda pun memiliki titel gelar sesuai dengan jurusan masing-masing. Anda bekerja dan Anda mendapatkan gaji. Kemudian Anda menikah dan menafkahi keluarga Anda. Apakah berkah saat Anda menafkahi keluarga sedangkan ketika di kampus, Anda malah lulus dengan cara-cara yang tidak pantas; sering titip absen, sering liat contekan atau nyari jawaban di google saat ujian, mengerjakan tugas akhir dengan sistem copy paste yang dominan. 

Tentu semua fase dalam kehidupan ini akan selalu saling bersambungan. Saya meyakininya seperti itu. Mengikhtiarkan keberkahan itu pun juga tidak bisa diraih dengan tiba-tiba. Perlu proses panjang dan Anda harus menjaga baik-baik dari prosesnya yang paling awal; memilih untuk tidak titip absen ketika kuliah misalnya.

29/9/2018
06.04 Wib